Oleh: Ambo Asse Ajis*
BIDIKACEH.COM – KOETARADJA ] Sebelum covid 19 memasuki pintu gerbang negeri Bandar Aceh Darussalam (Provinsi Aceh) awal tahun 2020 ini, pembicaraan paling aktual terkait warisan cagar budayanyahanya ada dua, yakni pertama, pembicaraan “tensi tinggi” tentang Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande-Jawa, Kecamatan Kutaraja; dan kedua, pembicaraan “tensi sangat tinggi menjelang meledak”tentang perlakuan tidak menyenangkan dilakukan usaha Bakso Hendra Hendri atas jalan masuk dan diduga ada pendudukan sebagian tanah Kompleks Makam Sultan Badrul Munir Jamalul Lailyang letaknya di koordinat 5°33’9.95″U 95°18’56.11″T,Gampong Baru, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh.
Saya tidak akan membahas tentang IPAL akan tetapi membicarakan kecintaan palsu (kecipal) pada sang Sultan; seorang sultan yang asal usulnya dari keluarga Syarif Mekkah, tempat Nabi Allah, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam lahir dan membawa risalah kenabian hingga memberi taufiq dan hidayah ke qalbu para pahlawan Aceh melahirkan kerajaan Islam yang menghancur mimpi kolonial Portugis menguasai nusantara.
Meski beliau ini seorang sultan kerajaan Bandar Aceh Darussalam yang bertahta antara tahun 1703-1726, tetapi sampai saat tulisan ini di rilis, belum ada satupun rakyat Aceh atau pemerintah Aceh yang berhasil membela hak-haknyaatas perlakuan tidak menyenangkan tersebut.
Pertanyaannya, mengapa demikian dan ada apakah gerangan? Sebegitu hebatkah usaha Bakso Hendra Hendri sehingga mampu bertahan dari gempuran opini publik. Ataukah ada kekuatan yang sedang melingkari jari manisnya sehingga gempuran tidak mempan meski sekelas rudal berhulu ledak nuklir telah dilepaskan pejabat teras Kota Banda Aceh dan Tim Ahli Cagar Budaya Kota Banda Aceh, ternyata belum juga mempan.
Penulis tidak akan membahas kekuatan usaha Bakso Hendra Hendri tersebut (jika ada). Tetapi memilih bertafakkur betapa negeri yang sangat saya hormati sejarahnya ini, seperti kehilangan cinta atau semakin memudar cintanya; dan seolah yang tersisa cinta palsu belaka; ya, cinta palsu kepada sultan Kerajaan Bandar Aceh Darussalam yang bertahta antara tahun 1703-1726.
Tidakkah yang terjadi inisungguh miris dan memalukan sekali. Atau mungkin karena bukan berbicara tentang harta (uang) dan tahta (jabatan) sehingga sikap peduli membela eksistensi Situs seorang sultan kerajaan Bandar Aceh Darussalam yang bertahta antara tahun 1703-1726jadi terpinggirkan. Sungguh terlalu..
Prajurit yang tersisa
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh selaku pihak yang bertanggungjawab atas pelestarian situs Kompleks Makam Sultan Badrul Munir Jamalul Lail nya sebaiknya menunjukan sikap asli selaku kunci pemegang tanggungjawab. Yaitu, sikap yang tegas, tegap, berwibawa, menjaga marwah, menjaga harga diri, menjaga amanah selaku pelayan masyarakat, menjaga undang-undang, menjaga adat, menjaga dari sifat masa bodoh dan sebagainya.
Kedua level pemerintah ini, tidak baik bersikap diam dan terlihat cenderung membiarkan. Seolah menunggu opini publik memudar perhatiannya,justru terlihat digunakan sebagai jalan keluar jika ada riak tentang soal ini. Sungguh sikap seperti ini adalah sikap pengecut; sikap tidak layak menjadi pemimpin (referensi: lihat syarat-syarat pemimpin dalam qanun Adat Meukuta Alam).
Tetapi, masih beruntung ada sekelompok “prajurit” Kerajaan Bandar Aceh Darussalam yang istiqamah menjaga suara tetap menyalak walau dentumannya terdengar melemahpada suara pembelaannya.
Suara prajuritpenegak warisan indatu ituadalah MAPESA, CISAH, Budayawan, Sejarahwan, Cut Putri, Rafly Kande, kalangan jurnalis, dan personal-personal lain yang diberkahi oleh cintanyapada warisan budaya Aceh.
Mereka menunjukan betapa sakitnya menjaga warisan budaya. Betapa pentingnya jejak tersebut tetap ada di muka bumi sehingga bisa dipelajari oleh generasi bangsa Aceh.
Mengakhiri penderitaan batin ini, saya teringat tulisan @saiefalimdar tentang seorang Kopral Ottoman yang menolak untuk meninggalkan tugasnya di al-Quds (Palestina) kembali ke negaranya Turki, sampai akhirnya suka rela meninggalkan tempat tugasnya ketika Rabb-nya memanggilnya pada tahun 1982. Beliau,Kopral Hasan Igdirli (93 tahun), dijuluki the Last Ottoman Stand atau prajurit Ottoman terakhir yang meninggalkan tugasnya menjaga masjid Aqsha pada tahun 1982.
Doa ku, semoga para prajurit Sultan Aceh penegak warisan indatu yang masih bersuara memekakan telinga penguasa di atas, istiqamah menjaga warisan budaya (cultural hetitage) Aceh dengan memengaruhi pejabat kunci Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh bertanggungjawab menyelesaikan masalah yang mengganggu situs Kompleks Makam Sultan Badrul Munir Jamalul Lail sampai masa Rabb-nya memanggilnya. InshaAllah…
* anggota Tim Ahli Cagar Budaya Kota Banda Aceh
Email: ambo.unsam@gmail.com
More Stories
Masyarakat Mengadakan Kegiatan Syukuran Dan Santunan Anak Yatim Atas Kehadiran PetroFlexx
Tokoh Dayah Baro Dan Geuchiek Tutong Merasa Bimbang Akan Pemberhentian Sementara Perusahaan PetroFlexx
Pro Musafadh (Pro MUALEM-DEK FAD) Ucapkan Selamat kepada Mualem-Dek Fadh, Unggul di Pilkada Aceh 2024