01/12/2024

AsiaNationNews.com

Honesty – integrity – Trust

Jokowi Dalam Genggaman Oligarki

20 Juni 2022

 

 Laporan : Roni

 

Jokowi Dalam Genggaman Oligarki

Penulis Opini :
Anisa Pitria Rabbani, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Universitas Samawa.

Sumbawa (ANN) Kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 menjadi sebuah negara yang berdaulat adalah bukan sekadar hadiah, lebih dari itu bahwa kemerdekaan adalah hak bagi seluruh bangsa. Sebagai manusia yang utuh, sejak dalam kandungan manusia sudah memiliki hak bukan melalui proses untuk mendapatkan hak. Tetapi, hak adalah hal sudah wajib melekat dalam diri seseorang. Bicara soal hak, bukan hanya perorangan yang memiliki hak. Sebagai suatu bangsa, maka bangsa tersebut juga berhak atas kehidupannya. Berhak untuk nasib diri bangsa tersebut.

Semasa transisi dari Indonesia yang pernah diduduki Belanda, lalu kemudian Jepang, dalam menggapai kemerdekaannya, banyak hal yang di korbankan. Tenaga, waktu, pikiran, materi hingga nyawa. Masa-masa yang teramat sulit, ditengah-tengah pergolakan perang dunia II, Soekarno dan Mohammad Hatta, serta banyak tokoh-tokoh lainnya yang sangat berjasa pula, merumuskan kemerdekaan Indonesia akan seperti apa. Dengan berbagai latar belakang tokoh-tokoh negarawan, budayawan, politik, agama, dan lain sebagainya, menghasilkan kesepakatan bahwa amat perlu adanya dasar negara yakni, PANCASILA.

Pancasila berasal dari bahasa sansekerta yaitu Panca yang berarti Lima. Sedangkan Sila berarti Dasar. Bila digabungkan Pancasila berarti Lima Dasar. Lima dasar ini bukan semata-mata hasil buah pikir perorangan saja. Akan tetapi Pancasila merupakan filosofi dari bangsa Indonesia. Lima dasar inilah yang kemudian menjadi dasar negara dan menjadi pedoman serta cita-cita dari pada didirikannya organisasi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari banyak pulau, suku, agama, ras, budaya, dan golongan. Indonesia yang memiliki keadaan materiil heterogen, terkadang terbawa arus perseteruan antar sesama. Apakah ini benar karena dipicu oleh unsur SARA, atau ada faktor lainnya. Boleh diduga sebenarnya adalah karena pemenuhan hak yang tidak adil. Apakah hak itu tidak dapat dipenuhi oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya. Misalnya sejak masa Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dua periode, dan saat ini adalah periode kedua Negara Kesatuan Republik Indonesia dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.

Jokowi merupakan sosok yang lahir berasal dari keluarga miskin. Jejaknya berawal dari sebagai pengusaha kayu lokal yang sukses, lalu menjadi walikota solo, selanjutnya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tak disangka, ditengah perjalanannya menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia atas tawaran Megawati selaku ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Jokowi yang dikenal dengan selogan Wong Cilik, mampu memenangkan perhelatan demokrasi menjadi Presiden terpilih.

Pemilu 2019, Jokowi kembali mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Dengan melewati beberapa tahapan proses Pemilu yang sempat mengalami sengketa, akhirnya Jokowi menang untuk yang kedua kalinya. Pada periode ini, saat ini adalah tahun ketiga Jokowi menjabat. Sejak 2019, muncul gerakan-gerakan mahasiswa yang cukup fantastis besarnya. Adapun yang menjadi isu gerakan mahasiswa 2019, ialah tentang Pengesahan RUU KPK dan RUU KUHP yang dianggap membelakangi kekuasaan dengan rakyat.

Tahun 2020, muncul gerakan penolakan oleh mahasiswa dan buruh terhadap UU Nomor 11 tentang Cipta Kerja Tahun 2020. Undang-undang Cipta Kerja sering disebut dengan Undang-undang Omnibus Law. Undang-undang ini terdapat sebelas klaster yang tergabung menjadi satu produk. Konon menurut para demonstran, Undang-undang ini mengkebiri nasib para kelas pekerja/buruh pada sektor ketenagakerjaan.

Tahun 2021 muncul gerakan oleh mahasiswa tentang tes wawasan kebangsaan untuk aparatur KPK. Tak kalah trending dibicarakan dan bahkan sangat terasa sekali dampaknya. Terdapat kondisi yang dirasa sulit bagi masyarakat. Minyak Goreng yang langka, sekalipun ada harganya tidak wajar bahkan dua kali lipat harga Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng. Tak hanya itu, harga BBM yang naik, Gas Elpiji yang langkah. Bertubi-tubi kesulitan dirasakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

Tak hanya itu saja, beberapa hal yang kontroversi bagi masyarakat Indonesia, khusunya di bidang politik adalah Parlementary Threshold dan Presidensial Threshold atau dengan bahasa lain ialah ambang batas yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk bisa mencalonkan diri. Selain itu, baru-baru ini beredar isu Jokowi tiga periode dan isu tunda pelaksanaan pemilu. Banyak pihak mengindikasikan bahwa isu ini berasal dari dalam istana. Artinya dari pengikut dari pada Jokowi.

Isu menunda pemilu di cuatkan atau Jokowi tiga periode dimaksudkan untuk memperlancar Mega proyek kereta listrik dan pemindahan Ibukota Negara Baru. Salah satu alasan yang muncul di publik adalah karena negara sedang mengalami krisis keuangan akibat pandemi covid19. Namun, sekali lagi banyak pihak yang mengindikasikan bahwa isu menunda pemilu adalah untuk memperlancar Mega proyek tersebut, misalnya dari kalangan aktivis dan ormas-ormas pergerakan.

Betapa tidak adil jika isu menunda pemilu benar-benar terjadi. Sembilan Desember 2020 lalu pemerintah memaksa untuk tetap dilaksanakannya pemilihan kepala daerah. Padahal sebenarnya situasi dan kondisi negara baik dari segi keuangan negara maupun psikologis masyarakat sedang tidak sehat ditengah-tengah merebaknya pandemi covid 19. Lalu Pemilu 2024 akan datang ingin ditunda. Muncul pertanyaan ada apa dan ada siapa dibalik ini semua sebenarnya.

Lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif adalah corong pembuat peraturan perundang-undangan dan kebijakan. Lantas, apakah semua yang dibicarakan pada bagian sebelumnya benar-benar murni lahir dari kedua lembaga tersebut. Boleh diasumsikan terdapat suatu kekuatan kelompok yang memiliki daya dan jaringan yang kuat dalam mencapai keinginan/kehendak dari kelompok itu sendiri.

Berangkat dari judul yang diangkat ialah Jokowi dalam genggaman Oligarki. Rezim Jokowi sedang dalam samudera oligarki ada beberapa asumsi yang menganggap bahwa ini merupakan politik balas Budi.

Kenapa demikian?, Naiknya Jokowi dua periode tidak lepas dari intervensi atau dukungan yang diberikan kaum elite dan partai politik sehingga, buah dari itu adalah politik balas Budi.

Contohnya, kaum-kaum elite yang mendukung Jokowi selama dua periode dijadikannya pejabat-pejabat negara, salah satu nama besar di bidang usaha batu bara yaitu Luhut Binsar Pandjaitan dan masih banyak elite lainnya. Jadi, wajar saja bila ada asumsi bahwa undang-undang atau peraturan yang dibuat benar-benar mengakomodir kepentingan mereka.

Itu masih pada poros kabinet pemerintahan belum lagi yang mengisi lembaga legislatif, berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyatakan bahwa orang-orang dekat, pimpinan DPR dan menteri terlibat atau ikut dalam usaha tambang dan usaha – usaha lainnya.

Dari pernyataan tersebut bisa disimpulkan, bahwa memang oligarki atau kelompok/oknum kepentingan tersebut dapat dengan mudah mengatur dan atau mengelola pemerintahan dengan semaunya. Maka tidak heran, bahwa asumsi banyak orang tentang oligarki yang menguasai negeri dapat dibenarkan.

Penulis,
Anisa Pitria Rabbani, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Universitas Samawa.

About Post Author