Oleh : AMBO ASSE AJIS
Mengapa mengingkari sejarah, mengapa menjauhkan diri darikepingan jati diri yang terekam dalam bukti-bukti arkeologis masa lampau? Ini adalah pertanyaan relevan untuk Pemerintah Aceh, pemerintah Kab/Kota beserta seluruh jajarannyamaupun wakil rakyat yang terkesan sangat bekerja bagai keong berjalan dalam menangani keberadaan objek-objek cagar budaya di Aceh.
Kasus hancurnya secara perlahan bukti sejarah dan arkeologi Kawasan Gampong Pande yang menjadi asal mula peradaban Kerajaan Bandar Aceh Darussalam yang berusia 600 tahun; kasus terbengkalainya Kawasan Lamuri di Krueng Raya, Aceh Besar yang menjadi bukti kehadiran kerajaan-kerajaan kuno sejak abad 9 Masehi dan saat Islam menjadi ideologi Kerajaan Lamuri di abad ke-15 M (bisa lebih tua lagi) dengan tipe nisan Plak Plin yang istimewa bagi ilmu pengetahuan; kasus terbengkalainya Kawasan Ujung Pancu yang diduga kuat sumber Kota Islam Pancur yang dicatat paling awal abad ke-8 Masehi di Nusantara dan masih banyak lagi,–kini, semuanya, terancam punah oleh “kebodohan” cara kerja aparatur dalam menjaga warisan heritagenya.
Kasus anyar (terbaru) dari negeri sumber kejayaan Islam ini, Bandar Aceh Darussalam adalah kasus hilangnya koleksi pahlawan nasional di rumah Cut Meutia adalah pukulan telak bagi bangsa yang sudah melahirkan banyak pahlawan.
Tidak ada kata yang tepat untuk kasus hilangnya aset di properti Cut Meutia tersebu selain “ini sangat dan sungguh memalukan.”
Pemerintah Aceh selaku pewaris perjuangan para syuhada yang darahnya masih menggenang di tanah, di dinding rumah, di bekas jalur kereta api, dikedalam hutan, di hamparan ladang dan sawah, di lautan yang luas, dan di antara angin yang berhembus di tanah basah maupun kering, kini seolah dirampas kehormatannya.
Ini tentu sangat buruk bagi cara kerja pemerintah dan identitas Aceh. Dan, sungguh sangat buruk bagi perkembangan emosional, kecerdasan dan kepribadian bangsa yang terbiasa menggagungkan para pahlawan.
Lalu, kalimat apa yang harus disampaikan kepada anak-anak bangsa Aceh maupun nusantara tentang kejahatan tidak perduli pada bukti-bukti jati diri ini. Apakah harus membasuh muka atau mencuci tangan persis cara kepemimpinan nasional saat yang gagal mensejahterakan anak bangsanya.
Mulailah menata masa lalu untuk masa depan
Mengapa terkesan menghancurkan masa lalu untuk membangun masa depan. Seharusnyanya keduanya bisa berdampingan menyambut kemerdekaan. Kemerdekaan merawat jati diri adalah bagian dari menjaga masa depan.
Ini soal pilihan saja, jika jajaran di Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota/Kabupaten dan wakil rakyat (DPRA/DPRK) menghendaki kehancuran bukti masa lalu, sebaiknya tidak usah tanggung-tanggung, tinggal buatkan aja landasan hukumnya.
Tetapi jika pilihannya menyadari bahwa mereka, berbagai aset masa lalu itu baik dalam bentuk fisik (tangible) seperti benda, struktur, bangunan, situs, dan kawasan dan non fisik (intangibel) seperti tradisi, seni dan sebagainya adalah properti yang berguna bagi kewibawaan, harga diri, harkat dan martabat serta kebanggaan maka pemerintah Aceh dan jajarannya harus bersikap keras dalam merawat dan melaksanakan tanggungjawab ini.
Bersikap keras dalam artian bekerja keras melestarikan bukti-bukti, selalu berusaha menumbuhkan rasa cinta dan bangga sehingga generasi berikutnya akan mengingat bahwa ini adalah cara bangsa yang terhormat.
Akhir kata, jangan memulai mencintai warisan budaya ini saat semuanya telah kalian hancurkan. Tapi mulailah mencintainya saat Allah memberimu pemahaman (ilmu) tentang masa lalu dan merawatnya saat Allah memberimu jabatan, gaji, sahabat, teman kerja, ruang kerja dan berbagai kemudahan hidup lainnya. InsyaAllah
*) Penulis adalah Tim Ahli Cagar Budaya Kota Banda Aceh.
Email: ambo.unsam@gmail.com
More Stories
Sudut Pandang Abu Muda Woyla Terhadap Sosok Seorang Sayid Machdum Madjid Al Idrus (Walid)
Pejabat Eselon OPD Aceh Timur Dibariskan Depan Pj. Bupati
Langsa District Attorney’s Office Finds More Than Seven Hundred Million In Tirtanadi PDAM Corruption Case