Ambo Asse Ajis
Budaya dikenal sebagai pola hidup manusia yang sudah berurat akar. Budaya lahir dari dari proses berpikir dan bertindak yang kemudian menjadi prilaku umum sebuah komunitas atau masyarakat. Syarat utama sesuatu dikatakan budaya, ia di bentuk oleh komunitas atau masyarakat dan berjangka waktu panjang, melibatkan banyak generasi.
Budaya lahir dalam tengah-tengah pemikiran masyarakat yang kemudian di integrasikan sebagai tindakan bersama. Bagi dunia kreatif, budaya adalah ladang cuan. Mengapa, karena budaya menghasilkan turunan kreatifitas yang bernilai jual tinggi.
Sebut saja dunia pariwisata yang memanfaatkan budaya sebagai salah satu kebun usahanya. Pariwisata menjual berbagai karakter budaya untuk mendatangkan turis. Turis datang membawa uang dan harapan mendapatkan layanan terbaik. Dan, pekerja budaya kita menggoyang rasa keinginan para turis itu dengan memadukan karakter budaya dan kreativitas sehingga menghadirkan seni-seni pertunjukan yang memukau.
Lalu bagaimana dengan negara ini. Pemerintah Indonesia telah membuat Undang-Undang khusus tentang budaya. Namanya, Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dan Undang-Undang Cagar Budaya. Kedua hasil konstitusi terkait budaya tersebut merupakan wujud keberpihakan negara dalam memperlakukan budaya sebagai aset yang bisa mensejahterakan masyarakat.
Sayangnya minim keberpihakan Pemda
Sayang sekali, pemerintah daerah di Indonesia selalu bingung menanggapi soal budaya. Keberpihakannya terasa sangat kurang karena memandang budaya itu sebagai produk langsung jual. Padahal budaya itu harus di jaga atau dilestarikan, di revitalisasi, kadang diadaptasi guna membentuk budaya baru yang positif. Setelahnya barulah ia dijajakan. Ini adalah siklus proses yang akan terus berlangsung.
Sebut saja misalnya bicara tentang keberpihakan anggaran. Tidak jarang kita menemukan anggaran di dinas kebudayaan sangat minim. Saya pernah mendengar ada satu pemerintah daerah hanya mengalokasikan 100 juta selama satu tahun untuk kegiatan di Bidang Kebudayaan.
bukankah anggaran kecil seperti itu ironi dan mencedarai kecerdasan intelektual masyarakat kita yang terus berproses dengan budayanya.
Karena postur anggaran yang tidak signifikasn itu, akibatnya budaya positif masyarakat di daerah yang sesuai nilai-nilai kebangsaan itu jarang disentuh.
Akibatnya, berbagai budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai bangsa mulai masuk dan mengisi ruang kosong tersebut. Makanya, tidak heran berbagai budaya negatif dapat masuk ke relung pikiran masyarakat, seperti: budaya kekerasan, budaya terorisme, budaya korupsi, budaya KKN, budaya suap menyuap dan sebagainya mendapatkan tempatnya di tubuh pikiran masyarakat karena hal-hal seperti setuiap hari disajikan di media-media.
Alhasil, sampai hari ini pun, keberpihakan atas budaya di pemerintahan daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota masih tidak jadi prioritas. Ironi dan terdengar memalukan karena jelas mengkerdilkan kehebatan budaya.
Solusi
Pemerintah daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia harus menghilangkan ketidakberpihakannya pada anggaran pemajuan budaya. Mengapa, karena hanya dengan budaya maka benteng pemikiran luhur bangsa-bangsa di Indonesia akan menjaga negara ini dari budaya kekerasan, budaya terorisme, budaya korupsi, budaya KKN, budaya suap menyuap dan sebagainya.
Sebagai penutup, kiranya sangat layak jika presiden Republik Indonesia tegas memeriksa anggaran budaya di masing-masing kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia guna memastikan keberpihakan memajukan budaya benar-benar ada di Indonesia. Semoga..
More Stories
Perilaku Politik Sengkuni
The Humming Of Peaceful Elections
Aprindo NTB Dukung Terciptanya Stabilitas Kamtibmas Menjelang Pemilu 2024